Banding Ditolak CAS, Crystal Palace Murka Gagal Tampil di Liga Europa
Sebuah perjuangan heroik di atas lapangan selama satu musim penuh harus berakhir dengan air mata kekecewaan di meja hijau. Klub Liga Premier Inggris, Crystal Palace, meluapkan amarah dan rasa frustrasi mereka setelah upaya banding terakhir mereka ditolak. Penolakan dilakukan oleh Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) pada Selasa (12/8). Putusan ini secara final mengubur mimpi The Eagles untuk bisa tampil di Liga Europa musim 2025/2026.
Meskipun mereka berhasil finis di zona kualifikasi Liga musim lalu, Palace harus “dilempar” ke kompetisi kasta ketiga, UEFA Conference League. Ini karena sebuah aturan yang rumit dan kontroversial mengenai kepemilikan multi-klub. Keputusan yang mereka anggap sangat tidak adil ini menjadi sebuah pil pahit, menodai salah satu musim terbaik dalam sejarah modern klub dan memicu perdebatan sengit tentang aturan main di sepak bola Eropa.
Crystal Palace: Si ‘Elang’ Kuda Hitam dari London Selatan
Untuk memahami betapa menyakitkannya keputusan ini, kita perlu mengenal siapa itu Crystal Palace. Berbasis di London Selatan, klub yang dijuluki The Eagles ini mungkin tidak memiliki koleksi trofi sebanyak para tetangganya seperti Arsenal atau Chelsea, namun mereka adalah salah satu klub paling otentik dengan basis penggemar yang luar biasa fanatik. Didirikan pada tahun 1905, kandang mereka, Selhurst Park, dikenal sebagai salah satu stadion paling berisik dan intimidatif di Inggris berkat ultras mereka, Holmesdale Fanatics.
Sepak terjang Palace di era Liga Premier modern adalah sebagai tim kuda hitam yang solid. Mereka secara konsisten mampu bertahan di kasta tertinggi dan seringkali merepotkan tim-tim raksasa dengan permainan yang ngotot dan terorganisir. Puncak dari evolusi mereka terjadi di bawah asuhan manajer Oliver Glasner, yang berhasil mengubah Palace menjadi tim yang tidak hanya sulit dikalahkan, tetapi juga atraktif. Musim 2024/2025 menjadi musim bersejarah mereka, di mana mereka berhasil finis di peringkat keenam dan mengamankan tiket ke Liga Europa untuk pertama kalinya.
Mimpi yang Sirna: Dari Euforia ke Meja Pengadilan
Perjalanan tragis Crystal Palace ini dimulai dari euforia. Setelah pertandingan terakhir musim lalu, seluruh London Selatan berpesta merayakan keberhasilan tim kesayangan mereka lolos ke kompetisi Eropa yang bergengsi. Namun, pesta itu tidak berlangsung lama.
Masalah muncul dari struktur kepemilikan klub. Pengusaha asal Amerika, John Textor, melalui perusahaan induknya Eagle Football Holdings, memiliki saham minoritas signifikan di Crystal Palace. Masalahnya, perusahaan yang sama juga memiliki saham mayoritas di klub Prancis, Olympique Lyon. Secara kebetulan, Lyon juga berhasil lolos ke Liga Europa melalui jalur di liga domestik mereka.
Di sinilah regulasi UEFA Pasal 5 tentang “Integritas Kompetisi” atau aturan kepemilikan multi-klub (multi-club ownership) menjadi mimpi buruk. Aturan ini melarang dua klub dengan pemilik pengendali yang sama untuk berkompetisi di ajang UEFA yang sama. UEFA memutuskan bahwa antara Palace dan Lyon, hanya satu yang boleh tampil di Liga Europa.
Aturan Peringkat Liga yang Menyakitkan
Lalu, bagaimana UEFA menentukan siapa yang berhak? Aturan turunan dari regulasi tersebut menyatakan bahwa jika terjadi kasus seperti ini, klub yang finis di posisi lebih tinggi di liga domestiknya lah yang mendapatkan tiket. Sial bagi Crystal Palace, meskipun mereka finis di peringkat ke-6 Liga Premier (liga terkuat di dunia), Lyon berhasil finis di peringkat ke-5 di Ligue 1 Prancis. Berdasarkan aturan “kering” ini, UEFA pun memberikan tiket Liga Europa kepada Lyon, sementara Palace harus “turun kasta” ke Conference League.
Merasa diperlakukan tidak adil, Palace mengajukan banding ke CAS. Mereka berargumen bahwa kepemilikan Textor di Palace hanyalah minoritas dan tidak memiliki kendali operasional, sehingga tidak ada potensi konflik kepentingan. Namun, CAS pada akhirnya menolak banding tersebut, menguatkan keputusan awal UEFA.
Ini adalah sebuah ujian mental yang berat bagi para pemain. Mereka telah berjuang keras sepanjang musim, namun harus menerima kenyataan bahwa hasil di luar lapanganlah yang menentukan nasib mereka. Ini adalah sebuah pengingat bahwa di level tertinggi, seorang atlet tidak hanya bertarung melawan lawan, tetapi juga melawan dirinya sendiri dan keadaan. Sama seperti saat Yeremia Rambitan menjadikan duet barunya sebagai ajang uji diri, para pemain Palace kini juga harus membuktikan kekuatan mental mereka untuk bangkit dari kekecewaan ini.
Kontroversi seputar aturan kepemilikan multi-klub ini telah menjadi topik perdebatan panas. Media-media olahraga terkemuka seperti The Athletic secara mendalam mengulas bagaimana tren kepemilikan ini bisa mengancam integritas dan menciptakan situasi-situasi “tidak adil” seperti yang dialami oleh Crystal Palace.
Kemenangan di Lapangan, Kekalahan oleh Aturan
Pada akhirnya, kisah Crystal Palace ini adalah sebuah tragedi modern dalam sepak bola. Mereka melakukan segalanya dengan benar di atas lapangan hijau—bermain bagus, meraih poin, dan finis di posisi yang layak. Namun, mereka harus kalah oleh sebuah aturan birokrasi yang terasa kaku dan tidak mempertimbangkan konteks kekuatan liga. Kemarahan dan kekecewaan yang mereka rasakan sangat bisa dipahami. Kasus ini menjadi sebuah preseden yang berbahaya dan memaksa UEFA untuk kembali meninjau ulang aturan kepemilikan multi-klub mereka yang semakin tidak relevan dengan lanskap sepak bola modern yang semakin terglobalisasi. Bagi The Eagles, mimpi Eropa mereka belum sepenuhnya mati, tetapi harus dimulai dari kasta yang tidak mereka harapkan.